Pendidikan Karakter mahasiswa, haruskah dibayar dengan nyawa ?
Minggu ini kita kembali
dikejutkan dengan berita 3 adik mahasiswa kita yang meregang nyawa setelah
mengikuti pendidikan dasar (DikSar) mahasiswa pecinta alam Universitas Islam
Indonesia (mapala UII). Adik-adik kita yang mempunyai semangat tinggi untuk
belajar membentuk karakter malah harus membayar mahal bahkan bayarannya adalah
meregangnya nyawa mereka.
Padahal hakekatnya membentuk
karakter tidak harus dengan fisik, apalagi membentuk karakter seorang mahasiswa
yang notabene bukan anak kecil, semuanya terkait dengan kepribadian yang mereka
bawa sebelumnya.
Membentuk karakter seorang
mahasiswa tidak semudah membalikkan telapak tangan, bahkan prosesnya mulai
pertama kali mereka menginjakkan kaki di kampus hingga toga dikenakan saat di
wisuda. Dan membentuk karakter seorang mahasiswa itu tidak cukup dalam waktu
satu atau dua minggu saja, itulah gunanya ada bagian kemahasiswaan dan juga
himpunan mahasiswa.
Dalam membentuk karakter selama
proses belajar di kampus, bisa dibagi menjadi 3 tahapan :
- Semester 1 sampai 3 : Pengenalan kehidupan kampus dan adaptasi terhadap lingkungan
- Semester 4 sampai 6 : Pembelajaran, kualitas kreatif, peran aktif, dan belajar
- Semester 7 sampai wisuda : Fokus kepemimpinan dan argumentasi ilmiah
Ketahanan fisik memang penting
apalagi bagi seorang mahasiswa apalagi yang mengikuti kegiatan pecinta alam
yang kegiatannya banyak berhubungan dengan fisik, seperti mendaki gunung, kegiatan
lintas alam, mengikuti pelatihan SAR, dan lainnya. Namun yang harus
diperhatikan tidak hanya hard skillnya saja tapi soft skill nya juga harus
dibentuk.
Apa sih yang harus dibangun bagi
seorang mahasiswa, tepatnya ada 4 hal yang harus dibentuk dan dibangun bagi
seorang mahasiswa :
- Olah pikir : bagaimana membangun pola berpikir yang intelek, rasional, dan ilmiah
- Olah hati : bagaimana menjadi pribadi yang jujur, adil, ikhlas, dan religius
- Olah raga : bagaimana harus bekerja keras
- Olah karsa / rasa : bagaimana menjadi pribadi yang perduli, gotong royong, dan berperilaku demokrasi
Hal seperti ini seperti menjadi
budaya yang turun temurun, senior yang dulunya juga pernah menjadi junior
merasa ada “balas dendam” karena dahulu mereka juga diperlakukan seperti itu
oleh seniornya. Tradisi itulah yang salah, karena kurangnya pemahaman dan juga
pola pikir yang kadung salah terbentuk.
Seharusnya dan sepatutnya
senior-senior yang menjadi instruktur dalam program pembentukan karakter
ataupun program pelatihan lainnya harus bersertifikasi hingga mereka layak untuk
dijadikan instruktur. Disinilah peran dosen dan pengurus kampus untuk mengawasi
bahkan jika perlu harusnya ada audit juga bagi kepengurusan himpunan mahasiswa
dan kegiatan-kegiatannya.
Saya pribadi juga termasuk yang
aktif dalam kegiatan kemahasiswaan dulu ketika masih kuliah. Saya juga
merasakan bedanya karakter yang terbentuk ketika seorang mahasiswa aktif
mengikuti kegiatan kemahasiswaan dan yang tidak. Maka dari itu saya sangat
mendukung adanya kegiatan kemahasiswaan yang positif dan terarah.
Semoga tidak akan ada lagi nyawa
yang harus dibayar, hidup mahasiswa dan bentuklah karaktermu hingga menjadi
manusia yang tangguh.
0 komentar