KenPark – Pantai Ria Kenjeran, Masih Pantaskah disebut Wisata Keluarga?
Gerbang utama Kenpark Kenjeran Surabaya |
Hampir 3 tahun saya belum
menginjakkan kembali kaki saya di Pantai Ria Kenjeran, terakhir kesana lihat
festival layang-layang aja gak pakai keliling-keliling. Sore itu kami ingin kesana
menghabiskan minggu melihat pantai dan berfoto ditempat-tempat yang sering kami
lihat di instagram.
Dulu waktu jaman SD paling
bahagia ketika diajak ibu ke Kenjeran, ketika itu biasanya kami berenang di
waterpark . Sampai saat ini sih masih ada waterpark di Kenjeran, namun saya
tidak tahu kondisi nya seperti apa. Kalau kemarin saya lihat masih cukup ramai
kalau dilihat dari banyaknya kendaraan yang parkir disekitar area waterpark.
Saya sempat kaget ketika melihat
bangunan-bangunan yang dulu terawat, seperti lapangan futsal yang dulu hits
jadi jujugan mahasiswa-mahasiswa atau khalayak umum, namun kini miris sekali
pemandangan yang saya lihat. Belum lagi podium-podium penonton yang karatan dan
rusak disana sini, ya kita juga tahu kalau dulu kenpark sering dijadikan
sirkuit balap motor cuma akhir-akhir ini saya belum pernah melihat atau
mendengar ada event balapan motor yang diadakan disana. Entah karena sudah
tidak layak atau alasan lainnya.
Dipintu masuk sekarang sistemnya
sudah terkomputerisasi, petugas loket akan memberikan kita karcis print out
computer. Kalau dulu kan karcisnya masih pakai manual, kemungkinan kecurangan
sangat besar. Kebetulan kemarin kami naik mobil, dipintu masuk sudah ada
keterangan untuk mobil tiket masuknya Rp 20.000 dengan penumpang maksimal 2
orang dan penambahan per penumpangnya Rp 5.000,- Dari karcis yang kami dapat
ditulis sudah termasuk biaya parkir diarea bebas parkir. Yang dimaksud area
bebas parkir itu yang mana juga tidak jelas. Yang pasti kalau saya lihat di
area kya-kya alias pusat kuliner untuk memarkir kendaraan baik motor atau mobil
harus bayar lagi. Dan kalau mau makan diarea bibir pantai juga harus bayar
parkir lagi.
Lokasi saya foto, bagus kan? Nyomot dari google karena gambar kami dihapus semua |
Penasaran dengan apa yang sudah
di upload di instagram, maka itu tujuan utama saya kesana selain ajak Ara
jalan-jalan juga untuk ambil gambar diarea-area yang instagrammable. Waktu itu
sudah sangat sore sekitar jam setengah lima, saya lihat ada satu area didekat
pintu keluar yang banyak pohon-pohon. Saya pikir ini lho salah satu lokasinya,
abipun masuk kesana dan melihat memang banyak orang yang foto-foto disana. Ada
yang foto pre wedding ada beberapa AbeGe yang narsis-narsis juga.
Ini lho baju yang saya & ara pakai |
Kami pikir tidak masalah donk
kalau kami foto-foto juga disana, karena kami perginya bertiga saya, suami, dan
anak mau donk diabadikan bersama dalam foto. Karena kami sudah biasa bawa DSLR dikeluarkanlah
senjata kami, baru juga nge tes gambar datanglah 2 orang berpakaian safari
hijau yang menegur kami menanyakan mana suratnya. Kami pikir surat apaan ya?
Wong kami tadi sudah bayar tiket masuk, kata si bapak-bapak tadi kalau mau
foto-foto harus pakai surat katanya disuruh ke pos. OK kami turutin apa kata
mereka, dan ternyata memang benar kalau mau foto-foto pakai DSLR diarea Ken
Park harus pakai surat dan itu gak gratis, bayar Rp 200.000,-
Apa? Kalau fotonya untuk pre
wedding yang membutuhkan space khusus yang perlu area steril dan pengamanan
khusus boleh lah, lha ini lho untuk foto-foto dokumentasi pribadi. Mereka juga
harus bisa membedakan donk, baju yang kami pakai sore itu juga baju santai
bukan kebaya atau gaun mewah. Kita foto juga untuk apa? nantinya akan diupload
di media social dan imbasnya akan semakin banyak orang yang datang.
Dan yang sangat saya sayangkan,
kami “dipaksa” menghapus hasil jepretan kami meskipun itu cuma gambar
pohon-pohon aja tanpa ada obyeknya. Sungguh saya gak paham, dan saking emosinya
saya sampai ngumpat sendiri, bukan ngumpat 2 orang tadi tapi ngumpat pemikiran
yang masih kolot bin jadul mereka.
Ya sudahlah saya anggap itu
sebagai pengalaman pahit yang tidak mengenakkan. Kembali lagi ke masih
pantaskah Kenpark disebut sebagai wisata keluarga? Untuk saat ini saya bilang
tidak pantas dan untuk harga yang dibayarpun tidak sesuai. Apa yang bisa
dinikmati disana saat ini? Kalau mau lihat gedung-gedung bobrok iya banyak,
atau mau ke motel shortime yang banyak disediakan disana?
Saya menyayangkan saja
gedung-gedung yang seharusnya masih bisa difungsikan tapi dibiarkan begitu saja
tak terawat sampai jadi rusak. Fasilitas juga apa? Sarana bermain untuk
anak-anak juga tidak saya temukan, mau duduk-duduk menikmati pantai juga tidak
disediakan. Kalau mau menikmati pantai ya harus bayar alias beli dulu makanan
dipenjual-penjual makanan yang ada disekitar bibir pantai.
Selain patung Budha, patung Dewi
Kwan Im, pura, dan pagoda kok saya rasa tidak ada lagi yang bisa dinikmati
disini. Saya lihat ada bangunan baru yang katanya icon Universal Studio yang masih
dalam tahap pembangunan. Namun masih
belum jelas juga nantinya berfungsi sebagai apa.
Satu lagi yang jadi “pikiran”
saya sampai sekarang, motel-motel shortime disana kok bisa ya ga pernah
tersentuh satpol PP. Selain jadi sarana esek-esek juga jadi sarana perusakan
moral generasi muda Surabaya. Rate nya juga sangat terjangkau bahkan bagi
kantong pelajar, dengan harga kamar mulai Rp 50.000 per 6 jam sudah bisa
menyewa kamar disana. Mungkin orang dibelakangnya cukup kuat hingga tidak
pernah tersentuh razia. Entahlah……
0 komentar