Dimanakah peran “Ayah” ketika CERAI sudah diketuk palu Pengadilan Agama

by - November 08, 2016



Sejatinya Allah sangat membenci perceraian, namun tidak dapat dipungkiri angka perceraian masih cukup tinggi di Negara kita. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya perceraian, faktor utama biasanya karena ekonomi dan berujung ke orang ketiga. Kalau bercerainya belum ada anak sih ya sudah yaa dijalani saja sendiri-sendiri kehidupan setelah menjanda dan menduda. Tapi lain halnya ketika dalam perceraian tersebut ada anak yang harus tetap diberikan kasih sayang dan materi untuk pendidikan, tumbuh kembang, dan lain sebagainya.

Dalam kehidupan saya ada 2 orang yang dekat dengan saya yang perkawinannya harus mengalami yang namanya proses perceraian, dan menurut saya “korban” sebenarnya dari adanya perceraian adalah anak. Sebelum saya ceritakan lebih detil ada baiknya kita tahu dulu dari sisi hukum, apa sih itu perceraian?

Undang-undang yang mengatur kasus perceraian adalah UU no.1 tahun 1974 : PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA,
Pasal 38 menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena :
  1. Kematian
  2. Perceraian dan
  3. Atas keputusan Pengadilan

Pasal 39 menjelaskan tentang :
  1. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan siding pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
  2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alas an, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri
  3. Tata cara perceraian didepan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri

Pasal 40 menjelaskan tentang :
  1. Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan
  2. Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri

Pasal 41 menjelaskan tentang akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan berhak memberi keputusan
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri

Yang jadi sorotan utama saya disini adalah di pasal 41 ayat 2, karena selama ini yang saya lihat yaa mungkin sekitar 20% saja bekas suami yang mau memberi nafkah anak kandungnya. Seperti yang terjadi pada adik sepupu saya, bercerai diusia muda membuat seorang balita yang kala itu usianya 2 tahun harus kehilangan sosok seorang ayah. Memang dalam amar putusan hakim disebutkan bahwa bekas suami wajib memberikan nafkah bagi anak hasil pernikahan dengan bekas istrinya. Namun kenyataannya? Kalau kata ibu saya Pusss Meong, alias Nol besar. Awal awal perceraian saja dikirimi susu dan diapers buat keponakan saya, yaahh kurang lebih 5 bulanan lah lancar jaya. Namun menginjak bulan ke enam mulai lupa, nunggu ditagih dulu sama tante saya baru deh 3 kotak susu 900 gram dan 1 polybag diaper dikirim, itu tanpa tambahan uang lho yaa. Menginjak 1 tahun setelah bercerai hilang dehh itu kewajiban, bukannya si mantan suami ini gak mampu lho ya doi ini supervisor sebuah gedung pertemuan yang megah didaerah Blauran itu lhoo dan setelah diselidiki ternyata doi sudah kawin lagi. Ya sutra lupa deh sama anak kandungnya.

Kejadian kedua terjadi pada sahabat saya, padahal doi titel nya S.H dan pada proses pasca perceraian juga sudah membuat surat perjanjian didepan notaris agar si mantan suami tidak melupakan kewajibannya memberikan materi untuk 2 anak mereka. Tapi apa ujungnya? Jangankan memberi nafkah tiap bulan untuk 2 anaknya, cicilan rumah yang ditempati anak-anaknya gak dibayar 4 bulan sampai pihak bank datang mau nyita itu rumah. Dan gilanya, 4 atau 5 bulan setelah bercerai terdengar kabar kalau doi pindah ke Jawa Barat dan kawin lagi disana. Lantas sebagai wanita apa donk yang harus dilakukan agar para mantan suami ini tidak melupakan tanggung jawabnya pada anak-anak hasil pernikahannya?

Mau lapor ke Komnas HAM? Buang-buang waktu kalo kata teman saya, dari pada buat laporan kesana kemari ya sudah akhirnya para single mother ini memilih untuk berjuang dan bekerja sendiri demi menghidupi anak-anaknya.

Itu hanya dari sisi materi lho, padahal esensinya seorang anak yang sedang tumbuh dan berkembang pasti membutuhkan sosok seorang ayah. Kalau ayahnya meninggal sih ya sudah ya jelas ada kuburannya, lha ini ayahnya ada tapi entah dimana.

Padahal seharusnya berdasarkan Pasal 49 UU no.3 tahun 2006 jo. UU no.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, seorang mantan istri bisa mengajukan gugatan atas tidak dipenuhinya tunjangan anak ke pengadilan agama terdekat. Namun minimnya informasi membuat para wanita ini tidak tahu harus mengadu kesiapa, pendampingan biasanya dilakukan jika ada kekerasan atau sudah jadi sorot media. Apalagi kultur orang Jawa yang nedo nerimo, ya sudah ini nasibku, begitu katanya.

Ketika terjadi perceraian dan masa iddah istri sudah selesai memang mantan suami sudah tidak berkewajiban lagi memberi nafkah pada istrinya, tapi tidak putus kewajibannya pada anaknya. Nah, ini masalah lagi, masa iddah yang didalam Islam berlaku selama 3 bulan setelah putusan cerai dimana mantan suami masih berkewajiban memberi nafkah pada mantan istrinya. Ujung-ujungnya juga apa? Puss Meoong lagi, jarang ada mantan suami yang mau menafkahi mantan istri di masa iddah nya. Saya menulis bukan asal aja lho ya karena ini juga yang terjadi pada 2 orang terdekat saya yang pernah mengalami perceraian. Bahkan teman saya sampai “meminjamkan” uangnya buat mantan suaminya, jadi seolah-olah suaminya kasih uang didepan hakim untuk nafkah masa iddahnya agar putusan cerainya cepat keluar. Padahal masalah ini juga sudah disebutkan dalam Al-Qur’an

“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa” (QS. Al-Baqarah ayat 241)

Bolehlah mantan suami dan mantan istri saling membenci atau pastinya tersakiti karena proses perceraian, tapi janganlah karena perceraian dan kebencian orang tua ditularkan pada anaknya, apalagi pada pasangan muda yang anaknya masih belum mengerti apa itu perceraian?

Dalam sebuah hadist juga disebutkan

“Seseorang dianggap melakukan dosa, jika dia menyia-nyiakan orang yang wajib dia nafkahi” (HR. ahmad 6845, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)

Jadi, dimanakah peran Ayah seharusnya setelah kedua orang tua bercerai? Seharusnya peran Ayah tetaplah menjadi seorang Ayah bagi anak-anaknya, yang wajib memberi kasih sayang serta menafkahi hingga anak tersebut sudah dewasa.

Semoga kita semua dihindarkan dari kata perpisahan dan perceraian, bersetialah dan jujurlah dalam mencintai dan berkomunikasi dengan pasangan kita, niscaya Allah S.W.T akan melapangkan rizki kita karena sesungguhnya Allah S.W.T membenci adanya Perceraian.


You May Also Like

0 komentar