Dimanakah peran “Ayah” ketika CERAI sudah diketuk palu Pengadilan Agama
Sejatinya Allah sangat membenci
perceraian, namun tidak dapat dipungkiri angka perceraian masih cukup tinggi di
Negara kita. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya perceraian, faktor utama
biasanya karena ekonomi dan berujung ke orang ketiga. Kalau bercerainya belum
ada anak sih ya sudah yaa dijalani saja sendiri-sendiri kehidupan setelah
menjanda dan menduda. Tapi lain halnya ketika dalam perceraian tersebut ada
anak yang harus tetap diberikan kasih sayang dan materi untuk pendidikan,
tumbuh kembang, dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan saya ada 2 orang
yang dekat dengan saya yang perkawinannya harus mengalami yang namanya proses
perceraian, dan menurut saya “korban” sebenarnya dari adanya perceraian adalah
anak. Sebelum saya ceritakan lebih detil ada baiknya kita tahu dulu dari sisi
hukum, apa sih itu perceraian?
Undang-undang yang mengatur kasus
perceraian adalah UU no.1 tahun 1974
: PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA,
Pasal 38 menyebutkan bahwa
perkawinan dapat putus karena :
- Kematian
- Perceraian dan
- Atas keputusan Pengadilan
Pasal 39 menjelaskan tentang :
- Perceraian hanya dapat dilakukan didepan siding pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
- Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alas an, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri
- Tata cara perceraian didepan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri
Pasal 40 menjelaskan tentang :
- Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan
- Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri
Pasal 41 menjelaskan tentang
akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
- Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan berhak memberi keputusan
- Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut
- Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri
Yang jadi sorotan utama saya
disini adalah di pasal 41 ayat 2, karena selama ini yang saya lihat yaa mungkin
sekitar 20% saja bekas suami yang mau memberi nafkah anak kandungnya. Seperti
yang terjadi pada adik sepupu saya, bercerai diusia muda membuat seorang balita
yang kala itu usianya 2 tahun harus kehilangan sosok seorang ayah. Memang dalam
amar putusan hakim disebutkan bahwa bekas suami wajib memberikan nafkah bagi
anak hasil pernikahan dengan bekas istrinya. Namun kenyataannya? Kalau kata ibu
saya Pusss Meong, alias Nol besar. Awal awal perceraian saja dikirimi susu dan
diapers buat keponakan saya, yaahh kurang lebih 5 bulanan lah lancar jaya.
Namun menginjak bulan ke enam mulai lupa, nunggu ditagih dulu sama tante saya
baru deh 3 kotak susu 900 gram dan 1 polybag diaper dikirim, itu tanpa tambahan
uang lho yaa. Menginjak 1 tahun setelah bercerai hilang dehh itu kewajiban,
bukannya si mantan suami ini gak mampu lho ya doi ini supervisor sebuah gedung
pertemuan yang megah didaerah Blauran itu lhoo dan setelah diselidiki ternyata
doi sudah kawin lagi. Ya sutra lupa deh sama anak kandungnya.
Kejadian kedua terjadi pada
sahabat saya, padahal doi titel nya S.H dan pada proses pasca perceraian juga
sudah membuat surat perjanjian didepan notaris agar si mantan suami tidak
melupakan kewajibannya memberikan materi untuk 2 anak mereka. Tapi apa
ujungnya? Jangankan memberi nafkah tiap bulan untuk 2 anaknya, cicilan rumah
yang ditempati anak-anaknya gak dibayar 4 bulan sampai pihak bank datang mau
nyita itu rumah. Dan gilanya, 4 atau 5 bulan setelah bercerai terdengar kabar
kalau doi pindah ke Jawa Barat dan kawin lagi disana. Lantas sebagai wanita apa
donk yang harus dilakukan agar para mantan suami ini tidak melupakan tanggung
jawabnya pada anak-anak hasil pernikahannya?
Mau lapor ke Komnas HAM?
Buang-buang waktu kalo kata teman saya, dari pada buat laporan kesana kemari ya
sudah akhirnya para single mother ini memilih untuk berjuang dan bekerja
sendiri demi menghidupi anak-anaknya.
Itu hanya dari sisi materi lho,
padahal esensinya seorang anak yang sedang tumbuh dan berkembang pasti
membutuhkan sosok seorang ayah. Kalau ayahnya meninggal sih ya sudah ya jelas
ada kuburannya, lha ini ayahnya ada tapi entah dimana.
Padahal seharusnya berdasarkan
Pasal 49 UU no.3 tahun 2006 jo. UU no.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
seorang mantan istri bisa mengajukan gugatan atas tidak dipenuhinya tunjangan
anak ke pengadilan agama terdekat. Namun minimnya informasi membuat para wanita
ini tidak tahu harus mengadu kesiapa, pendampingan biasanya dilakukan jika ada
kekerasan atau sudah jadi sorot media. Apalagi kultur orang Jawa yang nedo
nerimo, ya sudah ini nasibku, begitu katanya.
Ketika terjadi perceraian dan
masa iddah istri sudah selesai memang mantan suami sudah tidak berkewajiban
lagi memberi nafkah pada istrinya, tapi tidak putus kewajibannya pada anaknya.
Nah, ini masalah lagi, masa iddah yang didalam Islam berlaku selama 3 bulan
setelah putusan cerai dimana mantan suami masih berkewajiban memberi nafkah
pada mantan istrinya. Ujung-ujungnya juga apa? Puss Meoong lagi, jarang ada
mantan suami yang mau menafkahi mantan istri di masa iddah nya. Saya menulis
bukan asal aja lho ya karena ini juga yang terjadi pada 2 orang terdekat saya
yang pernah mengalami perceraian. Bahkan teman saya sampai “meminjamkan”
uangnya buat mantan suaminya, jadi seolah-olah suaminya kasih uang didepan
hakim untuk nafkah masa iddahnya agar putusan cerainya cepat keluar. Padahal
masalah ini juga sudah disebutkan dalam Al-Qur’an
“Kepada wanita-wanita yang
diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang makruf,
sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa” (QS. Al-Baqarah
ayat 241)
Bolehlah mantan suami dan mantan
istri saling membenci atau pastinya tersakiti karena proses perceraian, tapi
janganlah karena perceraian dan kebencian orang tua ditularkan pada anaknya,
apalagi pada pasangan muda yang anaknya masih belum mengerti apa itu
perceraian?
Dalam sebuah hadist juga
disebutkan
“Seseorang dianggap melakukan
dosa, jika dia menyia-nyiakan orang yang wajib dia nafkahi” (HR. ahmad
6845, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
Jadi, dimanakah peran Ayah
seharusnya setelah kedua orang tua bercerai? Seharusnya peran Ayah tetaplah
menjadi seorang Ayah bagi anak-anaknya, yang wajib memberi kasih sayang serta
menafkahi hingga anak tersebut sudah dewasa.
Semoga kita semua dihindarkan
dari kata perpisahan dan perceraian, bersetialah dan jujurlah dalam mencintai
dan berkomunikasi dengan pasangan kita, niscaya Allah S.W.T akan melapangkan
rizki kita karena sesungguhnya Allah S.W.T membenci adanya Perceraian.
0 komentar